Pemetaan Dan Senyuman Perjuangan
Oleh : Kosmas Mahulae
Hari itu tanggal
4 juli 2016 pagi, Ibu atau yang biasa kami panggil dengan Bibik Remba menelfon bung Josua Cristofel H untuk ikut melakaukan pemetaan di lahan
yang telah menjadi kontradiksi selama ini. Seperti biasanya yang
kami lakukan hanyalah pendampingan, pendampingan yang bukan bersifat menggurui
tapi kesadaran morallitas yang murni dari hati dan pikiran. Mereka lebih pintar
karna mereka adalah petani yang lebih paham akan permasalahan sebenarnya.
Aku ingin sekali cepat-cepat pergi kesana, tapi
keadaan tak mendukung. Maklum saja, mahasiswa tingkat ahkir biasanya sibuk
dengan karya ahkir/skripsi ditambah lagi Dosen pembimbing. Terpaksa aku harus
memikirkan dua kali apa tujuan dari kampug, sambil menundukkan kepala
merenungkan kondisi ekonomi di kampung, gak terasa sudah pukul 12:00 wib siang,
waktunya untuk makan siang aku kembali ke pondok dengan berjalan kaki. Ternyata
kawan-kawan sudah menunggu ku dari tadi ”Hahaha . . . senang rasanya mereka
masih mau menunggu ku, aku ambil agenda catatan, bolpoin, dan kamera untuk
dokumentasi selama pemetaan
Kami pun berangkat menuju kampung Durin Tonggal.
Kec. Pancur batu. Kab. Deli serdang. Matahari pada siang ini terasa panas,
panas yang membakar kulit tapi hal ini
sudah biasa kami rasakan. Akhirnya sampai ke tempat tujuan berjumpa sama
kelompok tani di lahan yang akan di petakan, mereka sama sekali tidak kepanasan
biarpun mereka puasa, hebat kali lah para ibu-ibu pikir ku dalam hati. Apa
kabar anak ku ? tanya bibik Remba. Sehat bik sambil menyalam bibik, bercakap-cakap sebentar sebelum melakukan
pemetaan, lahan yang akan kita petakan ini sangat luas, kata bung Josua sangat
tidak mungkin kalau orang bibik ikut berjalan mengelilingin lahan ini. Lebih
baik orang bibik disini saja menunggu, biar kami para pemuda saja yang akan
melakukan pemetaan, ya sudah anakku jawab bibik Remba dengan senyuman. Aku
diminta untuk menaikkan celana panjang ku karna akan melewati sungai, mulai
menelusuri jalan setapak bersama-sama dengan pemuda dan team pemetaan. Baru 10
meter berjalan kami berhenti untuk mencari titik kordinat yang akan menjadi
titik awal dan titik ahkir dalam proses pemetaan ini, berjalan terus
mengelilingin lahan gak terasa sudah satu setengah jam berjalan sambil terus mengunci
titik kordinat setiap sudut. Dengan satu alat Gps manual yang masih memakai
batry ABC untuk setiap proses kerjanya, harga Gps itu kira-kira 1 juta katanya.
Panas nampaknya tak mau berhenti wajah lalah
berkeringat, bibir juga sudah kering terbakar terik matahari, rasanya mulut ini
pun gak mau berbicara apa lagi tertawa. Matahari memberikan bayangan bewarna
hitam yang mengikutin setiap gerak tumbuh ini, aku lihat bapak yang sudah
berumur 50 tahun itu nampaknya tahan menghadapin panas matahari. Ia bertelanjang
dada dengan membawa parang di tangan kirinya. Semua memuji dia meskipun sudah
tua Ia lebih kuat berjalan dari kami yang masih sangat muda ini, berkali-kali
kami berhenti untuk mencari tenaga maklum saja, kondisi mereka semua puasa jadi
butuh energy untuk berjalan mengelilingin lahan ini, bahkan ada juga yang
membatalkan puasanya. Terik matahari sudah mulai hilang yang menandakan siang
telah berganti sore, aku melihat jam 16:37 sore, energy bertambah dengan
semangat untuk berjalan. Namun, semangat itu gak berlangsung lama.
Ketika kepala mulai pusing, karna belum ada makan
dari pagi hingga sore, hawa tidak lagi sepanas siang tadi. Tapi, perut mulai
mual. Ingin rasanya cepat-cepat nyampai ke titik awal dan menyelesaikan peroses
pemetaan ini, melihat kawan-kawan masih berjalan dengan serius aku paksakan
untuk berjalan dan mencatat semua kejadian di buku agenda, sesekali mengambil
photo batas batas tanah yang di pasang oleh pihak Perusahaan PTPN 2, dan pihak
keluarga besar “USU” dari kejahuan aku melihat perempuan-perempuan berbaju
lusuh dengan memakai ulos di kepala mereka, yang lagi duduk bersimpuh tidak
beraturan. Gak terasa sudah mulai dekat sama titik awal, aku melihat
wajah-wajah kuyu yang lagi berjalan dengan
lelah meski terlintas juga keteduhan. Dalam hatiku terasa teduh melihat
senyuman-senyuman perempuan yang menunggu proses pemetaan ini selesai, rasanya
bermakna kali hidup ini ketika senyuman itu datang bertubi-tubi dari mereka
yang berjuang untuk makan.