Selasa, 19 Juli 2016

Pemetaan Dan Senyuman Perjuangan



Pemetaan Dan Senyuman Perjuangan  
Oleh : Kosmas Mahulae 




Hari  itu tanggal 4 juli 2016 pagi, Ibu atau yang  biasa  kami panggil  dengan Bibik Remba menelfon bung Josua Cristofel H  untuk ikut melakaukan pemetaan di lahan yang  telah menjadi  kontradiksi selama ini. Seperti biasanya yang kami lakukan hanyalah pendampingan, pendampingan yang bukan bersifat menggurui tapi kesadaran morallitas yang murni dari hati dan pikiran. Mereka lebih pintar karna mereka adalah petani yang lebih paham akan permasalahan sebenarnya.

Aku ingin sekali cepat-cepat pergi kesana, tapi keadaan tak mendukung. Maklum saja, mahasiswa tingkat ahkir biasanya sibuk dengan karya ahkir/skripsi ditambah lagi Dosen pembimbing. Terpaksa aku harus memikirkan dua kali apa tujuan dari kampug, sambil menundukkan kepala merenungkan kondisi ekonomi di kampung, gak terasa sudah pukul 12:00 wib siang, waktunya untuk makan siang aku kembali ke pondok dengan berjalan kaki. Ternyata kawan-kawan sudah menunggu ku dari tadi ”Hahaha . . . senang rasanya mereka masih mau menunggu ku, aku ambil agenda catatan, bolpoin, dan kamera untuk dokumentasi selama pemetaan

Kami pun berangkat menuju kampung Durin Tonggal. Kec. Pancur batu. Kab. Deli serdang. Matahari pada siang ini terasa panas, panas yang  membakar kulit tapi hal ini sudah biasa kami rasakan. Akhirnya sampai ke tempat tujuan berjumpa sama kelompok tani di lahan yang akan di petakan, mereka sama sekali tidak kepanasan biarpun mereka puasa, hebat kali lah para ibu-ibu pikir ku dalam hati. Apa kabar anak ku ? tanya bibik Remba. Sehat bik sambil menyalam bibik,  bercakap-cakap sebentar sebelum melakukan pemetaan, lahan yang akan kita petakan ini sangat luas, kata bung Josua sangat tidak mungkin kalau orang bibik ikut berjalan mengelilingin lahan ini. Lebih baik orang bibik disini saja menunggu, biar kami para pemuda saja yang akan melakukan pemetaan, ya sudah anakku jawab bibik Remba dengan senyuman. Aku diminta untuk menaikkan celana panjang ku karna akan melewati sungai, mulai menelusuri jalan setapak bersama-sama dengan pemuda dan team pemetaan. Baru 10 meter berjalan kami berhenti untuk mencari titik kordinat yang akan menjadi titik awal dan titik ahkir dalam proses pemetaan ini, berjalan terus mengelilingin lahan gak terasa sudah satu setengah jam berjalan sambil terus mengunci titik kordinat setiap sudut. Dengan satu alat Gps manual yang masih memakai batry ABC untuk setiap proses kerjanya, harga Gps itu kira-kira 1 juta katanya.

Panas nampaknya tak mau berhenti wajah lalah berkeringat, bibir juga sudah kering terbakar terik matahari, rasanya mulut ini pun gak mau berbicara apa lagi tertawa. Matahari memberikan bayangan bewarna hitam yang mengikutin setiap gerak tumbuh ini, aku lihat bapak yang sudah berumur 50 tahun itu nampaknya tahan menghadapin panas matahari. Ia bertelanjang dada dengan membawa parang di tangan kirinya. Semua memuji dia meskipun sudah tua Ia lebih kuat berjalan dari kami yang masih sangat muda ini, berkali-kali kami berhenti untuk mencari tenaga maklum saja, kondisi mereka semua puasa jadi butuh energy untuk berjalan mengelilingin lahan ini, bahkan ada juga yang membatalkan puasanya. Terik matahari sudah mulai hilang yang menandakan siang telah berganti sore, aku melihat jam 16:37 sore, energy bertambah dengan semangat untuk berjalan. Namun, semangat itu gak berlangsung lama.
 
Ketika kepala mulai pusing, karna belum ada makan dari pagi hingga sore, hawa tidak lagi sepanas siang tadi. Tapi, perut mulai mual. Ingin rasanya cepat-cepat nyampai ke titik awal dan menyelesaikan peroses pemetaan ini, melihat kawan-kawan masih berjalan dengan serius aku paksakan untuk berjalan dan mencatat semua kejadian di buku agenda, sesekali mengambil photo batas batas tanah yang di pasang oleh pihak Perusahaan PTPN 2, dan pihak keluarga besar “USU” dari kejahuan aku melihat perempuan-perempuan berbaju lusuh dengan memakai ulos di kepala mereka, yang lagi duduk bersimpuh tidak beraturan. Gak terasa sudah mulai dekat sama titik awal, aku melihat wajah-wajah kuyu yang lagi berjalan dengan  lelah meski terlintas juga keteduhan. Dalam hatiku terasa teduh melihat senyuman-senyuman perempuan yang menunggu proses pemetaan ini selesai, rasanya bermakna kali hidup ini ketika senyuman itu datang bertubi-tubi dari mereka yang berjuang untuk makan.